Seputar Muktamar Muhammadiyah 2022: Pengertian – Sejarah
Muktamar Muhammadiyah 2022 – Muktamar Muhammadiyah ke-48 akan diselenggarakan pada 18-20 November 2022 di Kota Solo, Jawa Tengah, di Universitas Muhammadiyah Solo (UMS). Presiden Joko Widodo (Jokowi) dijadwalkan membuka Muktamar dan Wakil Presiden Maruf Amin akan menutup Muktamar pada 20 November 2022.
Berikut rincian Muktamar Muhammadiyah 2022, mulai dari tafsir hingga sejarahnya.
Apakah Muktamar itu?
Solotrans mengutip Dari halaman resmi Muktamar muktamar.id, Muktamar adalah obrolan teratas atau musyawarah tertinggi di Muhammadiyah. Tidak hanya itu, konferensi ini merupakan waktu pembaharuan, persahabatan dan kerja sama di antara para anggota organisasi. Muktamar tersebut dihadiri oleh ribuan perwakilan Muhammadiyah baik daerah maupun negara, serta dimeriahkan oleh warga Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Logo dan tema Muktamar Muhammadiyah 2022
Muktamar Muhammadiyah 2022 kali ini mengusung motto “Memajukan Indonesia Mencerahkan Semesta”. Sementara itu, untuk Muktamar Aisyiyah mengusung tema “Perempuan Berkemajuan Mencerahkan Peradaban Bangsa”.
Selain itu, Muktamar Muhammadiyah dan Aisyah 2022 masing-masing memiliki logo. Berikut adalah link untuk mendownload logo Muktamar Muhammadiyah & Aisyah.
Jadwal serta Tempat Muktamar Muhammadiyah 2022
Ada dua agenda muktamar yang akan digelar tahun ini, Mukhtamar Muhammadiyah serta Mukhtamar Aisyah. Kedua agenda tersebut akan diselenggarakan pada:
Waktu : 18-20 November 2022 yang dalam kalender islam bertepatan pada 23-25 Rabil Akir 1444 H.
Lokasi: Kota Solo, Jawa Tengah
Kisah dari Muhammadiyah
Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di kampung Kauman Yogjakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Zul Hijah 1330 H).
Muhammadiyah didirikan untuk mendukung upaya KH Ahmad Dahlan dalam memurnikan ajaran Islam yang sangat berpengaruh terhadap aspek mistik keimanannya. Awalnya, kegiatan ini dilakukan untuk kaum wanita dan pemuda, dan memiliki landasan dakwah Sidratul Muntaha.
Menurut sejarawan UGM kelahiran Kawman, Adabi Darban, nama “Muhammadiyah” pertama kali diusulkan oleh kerabat dan sahabat Kiai Ahmad Dahlan, Mohammad Sangidu, Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan seorang pembaharu yang menjadi kepala Keraton Yogyakarta. KH Dahlan mendirikan nama Muhammadiyah melalui shalat istikharah.
Pada masa kepemimpinan Keh Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah hanya terbatas pada pemukiman di daerah seperti Yogyakarta, Solo, Pekalongan, dan Pekajangan.
Pada tahun 1922, selain Jogja, cabang-cabang Muhammadiyah didirikan di kota-kota tersebut. Pada tahun 1925 Abdul Karim Amrullah membuka cabang di Sugai Batang, Agam dan membawa agama Islam ke Sumatera Barat. Dalam waktu yang relatif singkat, gelombang Muhammadanisme menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah Muhammadanisme bergerak ke Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Di tahun Pada tahun 1938, Muhammadisme menyebar ke seluruh Indonesia.
Kisah dari Aisyiyah
Aisyah didirikan pada tanggal 27 Rajab 1335 H/19 Mei 1917 yang bertepatan pada peristiwa besar yang terjadi pada saat Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Rencana pendirian Aisyah berawal dari Perkumpulan Sapa Tresna yang diadakan pada tahun 1914, yaitu Perkumpulan Putri Terdidik di sekitar Kauman. Ahmad Dahlan mendorong perempuan untuk mengenyam pendidikan formal, baik umum maupun agama.
Konstruk sosial pada masa itu menyatakan bahwa perempuan tidak perlu mengikuti pendidikan formal, tetapi Dahlan mendorong putri rekan atau kerabat temannya untuk bersekolah.
Aisyiah didirikan oleh KH Dahlan, KH Fachrodin, KH Mochtar, Ki Bagus Hadikusumo dan enam orang kader perempuan Dahlan yaitu Seti Bariah, Seti Dawimah, Siti Dalalah, Siti Busjro, Siti Wadinga dan Siti Badillah di rumah KH Dahlan pada tahun 1917.
Rapat tersebut memutuskan untuk membentuk organisasi wanita Muhammadiyah dan menyetujui nama Aisyiyah yang diusulkan oleh KH Fachrodin.
Nama Aisyiyah terinspirasi dari istri Nabi Muhammad SAW yang dikenal cerdas dan berbakat. Muhammadiyah berarti pengikut Nabi Muhammad, sedangkan Aisyiyah berarti pengikut Aisyah.
Pada tahun 1926, Aisyah menerbitkan jurnal organisasi bernama Surah Aisyiyah untuk menyebarkan pesan reformasi dan upaya peningkatan status perempuan baik secara internal maupun eksternal.
Secara historis sebagai organisasi perempuan yang didirikan pada awal pergerakan dan telah memiliki visi yang menyatu terhadap gerakan perempuan, Aisyah berperan aktif dalam menyelenggarakan Kongres Perempuan Indonesia pertama dan mulai mendirikan Kongres Wanita Indonesia (Kowani).